Belum lama ini, Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar, yang selama ini dikenal dengan berbagai prestasi gemilang dalam kepemimpinannya, tiba-tiba diserang dengan tuduhan yang sangat merugikan—fitnah yang mencemari reputasi dan kehormatan beliau. Di tengah berbagai kebijakan strategis yang beliau implementasikan, seperti program “Indonesia Beriman” yang telah memberi dampak positif pada kesadaran dan keimanan masyarakat Indonesia, fitnah yang beredar ini sangat mengecewakan.

Menteri Agama, yang seharusnya menjadi teladan dalam menciptakan kedamaian dan keberagaman di Indonesia, kini dipaksa menghadapi serangan yang tidak hanya berpotensi merusak nama baiknya, tetapi juga menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. Tuduhan yang tidak berdasar—terutama yang menyangkut pelecehan seksual—merupakan sebuah tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah potensi dampak psikologis dan sosial dari penyebaran informasi palsu ini, yang bisa merusak citra seseorang tanpa adanya bukti yang jelas.

Perempuan sebagai Objek Politik: Fenomena yang Merugikan

Forum Strategis Pembangunan Sosial (FORES) melalui Koordinator Bidang Pembangunan Aktualisasi Gender, Fitrah, dengan tegas mengecam dan mengutuk fitnah yang ditujukan kepada Menteri Agama. Fitrah menegaskan bahwa setiap individu, termasuk Menteri Agama, memiliki hak untuk dilindungi dari fitnah dan pencemaran nama baik. Ini adalah prinsip dasar keadilan yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak. Sebagai masyarakat yang semakin cerdas dan kritis terhadap informasi, kita harus berhati-hati dalam mempercayai berita yang belum jelas kebenarannya.

Selain itu, dalam pernyataan yang lebih luas, Fitrah juga mengingatkan kita pada fenomena yang masih terjadi di masyarakat, yaitu penggunaan perempuan sebagai alat politik. Dalam konteks ini, kita melihat bahwa perempuan sering kali dijadikan objek dalam perdebatan politik—dilibatkan dalam narasi politik yang jauh dari hak-hak mereka. Fenomena ini mencerminkan kemunduran dalam pemahaman kita terhadap kesetaraan gender dan penghargaan terhadap hak-hak perempuan. Pada akhirnya, hal ini bukan hanya merugikan perempuan itu sendiri, tetapi juga menciptakan stigma sosial yang terus berlanjut dan memperburuk ketidakadilan gender dalam kehidupan politik.

Kenyataannya, meskipun kita hidup di era yang seharusnya mengedepankan kesetaraan, perempuan masih menjadi objek politik yang rentan dieksploitasi demi kepentingan tertentu. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang seharusnya tidak terjadi di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Masyarakat perlu terus meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai hal ini, agar perempuan tidak terus-menerus dijadikan alat dalam permainan politik yang hanya merugikan mereka.

Fitrah dengan tepat mengingatkan kita akan pentingnya verifikasi informasi sebelum menyebarluaskannya, serta menekankan bahwa setiap tuduhan harus dilandasi oleh bukti yang kuat. Keadilan harus ditegakkan dengan cara yang objektif, tanpa memihak pada pihak tertentu, dan tanpa menyebarkan rumor yang merugikan. Ketika kita mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan, kita tidak hanya melindungi individu dari fitnah, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan penuh penghormatan terhadap martabat setiap orang.

Sudah saatnya kita berhenti terjebak dalam pusaran rumor yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, terutama mereka yang telah berusaha keras untuk berkontribusi positif kepada masyarakat. Menghentikan praktik-praktik yang merendahkan martabat perempuan dan menghormati hak-hak mereka dalam ranah politik adalah langkah menuju perubahan yang lebih baik bagi masa depan bangsa.

Mari kita jaga integritas kita, berhenti menggunakan perempuan sebagai alat politik, dan mulai membangun masyarakat yang lebih adil dan setara.

Fitrah Juniarti
Koordinator Bidang Pembangunan Aktualisasi Gender Forum Strategis Pembangunan Sosial (FORES)